Sabtu, 04 April 2009

Jeda Kegembiraan

Jeda Kegembiraan
by : Ivan SP

Kegembiraan yang sangat kita harapkan selalu terjadi, pasti akan diberi jeda oleh sang waktu. Hanya mungkin sekedar memberikan gambaran betapa komponen penyusun kegembiraan kita, merupakan hal paling berharga untuk disia-siakan.

Sudah hal yang sangat standard, tiap orang yang pulang kerja, apalagi yang bergelar ‘family man’ yang selalu dinanti-nanti saat pertama sampai di rumahnya adalah pertemuan dengan anggota keluarga; anak istri. Ada lagu yang pas untuk ini : bidadari nan bermata jeli, menyongsong dengan wajah berseri. Yah, karena saya saat ini adalah satu-satunya lelaki di rumah, dengan amanah 2 anak perempuan.
Family man ini, dicirikan oleh banyak hal, tapi yang paling menonjol adalah kebiasaan untuk on time. Ontime saat absen masuk, kalaupun nggak, paling last minute, 7:29, 7:30, 7:28. Itupun kalau ditanya, apa yang dilakukan sebelum berangkat, jawabannya juga standar : ngajak anak muter-muter komplek dulu, mbenerin mainan anak, dan jawaban klise lain. Ciri kedua, kenapa gelar family man sangat layak disandang, adalah kebiasaan untuk pulang juga on time : pas 16:30. kalaupun telat, hitungannya juga masih kisaran menit. Hebatnya, kalau ciri pertama tadi tidak tercapai, ciri kedua harus tetap tercapai, dengan satu alasan yang seakan telah disepakati oleh semua karyawan : tadi pagi saya udah telat, masak sore ini telat lagi.
Dan, tiga makhluk perempuan itu, selalu berusaha berebut mendapat sambutan pertama, meski untuk ini jelas istri aku yang paling sering mengalah, namun tetap semua diupayakan mendapat hal yang sama, jabat tangan, cium tangan aku, ganti kening atau pipi mereka saya cium. Sama terus seperti itu, setiap hari. Namun hebatnya, tidak ada rasa bosan, atau bahkan rasa untuk ingin bosan. Rasanya secara kualitas maupun kuantitas, masih ada yang kurang kalau ritual itu belum dilaksanakan.
Masalah rebutan, juga jelas anak pertama saya yang paling menang. Apalah arti usaha anak usia1 tahun, yang masih tertatih untuk berjalan dan memanggil sebutan terindah di dunia, meski terucap terbata-bata : ayyaahhh, dibanding usaha anak usia 4 tahun.
Biasanya, ritual itu dilanjutkan dengan kewajiban berikutnya: menemani anak-anak bermain. Judul besar dari ukuran rumah saya adalah alhamdulillah, masih cukup untuk menampung anggota keluarga yang ada. Sebentar saja anak-anak mengeluarkan mainannya, rumah udah terasa penuh. Ya, tidak ada ruang lagi yang bisa menjadi tempat bermain, selain ruang keluarga sekaligus ruang temu, sekaligus ruang bermain anak-anak. Rasio jumlah mainan yang nambah terus dan luas ruang yang segitu aja, jelas tidak sebanding. Paling habis itu bundanya yang mengeluh harus beresin mainan.
Bahasa sederhana dari adegan permainan itu adalah seorang ayah yang menemani anaknya bermain. Tapi secara jujur harus saya katakan, rasanya saya juga punya kebutuhan untuk bermain itu. Ini adalah obat paling manjur dari semua masalah yang ada di kantor. Jadi kalau ditimbang-timbang, sebenarnya ini berbalik menjadi seorang anak menemani ayahnya bermain. Saya pernah lihat iklan handphone, bilang kalau tiap orang itu memiliki jiwa kekanak-kanakan, bahkan ketika dia udah dewasa. Bayangkan, betapa wajarnya saya kalau bermain mobil-mobilan, kejar-kejaran, ketawa-ketawa, kalau dalam kondisi itu. Coba kalau dengan yang sebaya saya, tentu menjadi pemandangan aneh. Jadi, tinggal kita ajarin anak untuk kreatif dengan permainan, besok dia nggak akan bosan main dengan kita, dan itu pula berarti selalu ada harapan bermain seperti itu keesokan harinya.
Itu adalah cerita harian yang sampai sekarang masih berjalan. Nah rutinitas terpenggal sedikit, karena ada undangan dari kampung, istriku harus pulang, tentu membawa anak-anak. Pagi-pagi, kuantar ke stasiun, dan saya langsung berangkat ke kantor. Sampai disini, tidak ada kejadian penting.
Nah, saat pulang kerjalah, tiba-tiba menjadi episode paling nggak enak dalam hidup. Kebiasaan lama disambut bidadari, tiba-tiba terasa hilang, karena sang bidadari sedang pulang kampung. Trus begitu masuk rumah, nampak ada sesuatu yang aneh. Rumah nampak sangat rapi. Terlalu rapi. Namun terasa ada sasuatu yang kurang. Mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan berantakan hasil tangan kreatif anakku. Wajah anakku mulai berpendaran mengisi bayanganku. Kegembiraan sementara mengalami jeda, sekaligus ancang-ancang untuk menyambut kegembiraan mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar