Sabtu, 11 April 2009

Siapa butuh siapa?

Menemani anak bermain bisa dibilang tanda sayang orang tua ke anaknya. Fitrah kita memang harus seimbang antara memberi dan menerima.
Menemani keluarga jalan-jalan ke Ragunan, merupakan bukti sayang itu. Sayang itu mulai diuji dengan permintaan yang aneh-aneh. Salah satu yang paling bikin jengkel dari Ragunan adalah tempatnya yang sangat luas. Dasar si anak yang nggak tahu capek, abis lihat onta di Pintu Timur, minta lihat Jerapah di Pintu Barat. Dan luasnya kebun binatang ini bisa jadi kebanggaan Jakarta, dimana satwa yang dipamerkan juga bisa banyak. Tapi itu pula yang bikin aku jengkel setengah mati. Bayangin, panas terik, dari ujung ke ujung, jauhnya. Mana anak minta gendong, lagi. Jadilah hati ini mengutuk, emang nggak bisa bikin kebun binatang yang kecilan. Atau sediain kek, angkot didalamnya. Ujian sayang anak menyisakan bias, manakala mata ini melihat ada onta tunggang. Ya, dengan 5000, kita bisa naik onta. Lumayan, buat pengalaman.
Namun, keinginan itu mendapat ancaman, manakala si anak agak takut naik onta. Berarti juga, si bapak juga terancam nggak jadi naik onta, satu hal yang belum pernah dia alami seumur hidupnya. bujuk rayu, negosiasi, tarik ulur, sampai intimidasi antara seorang bapak 30 tahunan, melawan seorang anak umur 4 tahun. Ketahuan siapa yang menang.
Dan ketika foto diperlihatkan ke banyak orang, judul yang disematkan pada foto itu adalah : seorang bapak menemani anaknya naik onta, karena si anak takut naik sendirian.

Minggu, 05 April 2009

Fogging Kini; Mati satu tumbuh seribu

Fogging Kini; Mati satu tumbuh seribu
Ivan SP

Musim kampanye hampir berakhir. Aku heran, pada satu pagi, ada seorang ibu yang terkenal aktif dikampungku, tergopoh-gopoh datang ke rumah, “Pak, rumahnya mau di fogging?”. Sejak tahu ada tetanggaku yang kena DBD, tentu tawaran itu sangat sayang untuk dilewatkan. Tentu saja anggukan kepalaku sebagai jawaban. Pucuk dicinta ulam tiba. Karena beberapa waktu lalu, komplek rumahku pernah ngajuin untuk fogging ini, tapi entah kenapa dan gimana caranya, yang difogging justru kampung sebelah yangnggak minta fogging.
Bener, kira-kira 15 menit dari pemberitahuan tadi, suara raungan mesin penyemprot sudah terdengar makin mendekat. Anak-anak terpaksa ngungsi sementara, karena dengan fogging, berarti secara nggak langsung meminta penghuni rumah untuk keluar dari rumah masing-masing. Aku kasih kode, titik mana aja dirumahku yang perlu untuk disemprot. Cuma, agak heran juga metode fogging agak beda dengan biasanya. Yang lalu, saluran pembuangan air di rumah diguyur pake obat cair, kamar-kamar dan daerah rawan nyamuk di rumah ikut kena juga. Tapi yang ini, bener-bener cuma nyemprot bagian luar saja, nggak pake masuk . Bau asapnya juga beda. Tapi kebingunganku terjawab, nggak lama kemudian. Ada satu petugas, membawa setumpuk kertas berwarna, mengedarkan ke rumah yang barusan kena semprot. Beberapa kertas dibagikan ke tiap rumah, termasuk rumahku. Oooo, gambar caleg. Ini jawaban pertanyaanku tadi. Aku tinggal tumpukan kertas diluar rumah, nekat aku pake masker sapu tangan masuk ke rumah, lihat seperti apa hasil semprotan, sekaligus membuktikan kebenaran dugaanku tadi. Lewat lubang jendela yang memang nggak kututup, aku pastikan asap bisa masuk ke ruang dalam rumahku. Rumahku memang mungil, jadi asap sedikit aja, udah membuat seisi rumah penuh dengan asap. Di dalam rumah, memang banyak nyamuk beterbangan. Mataku kualihkan ke lantai. Mestinya, banyak juga yang udah kelenger di lantai. Kuedarkan berkali-kali ke lantai, tak satupun korban berjatuhan dipihak nyamuk. Mereka masih saja enak terbang. Melihat gelagat kurang baik, aku ambil senjata pamungkas untuk nyamuk; raket nyamuk elektrik. Segera kusapa mereka yang masih beterbangan satu persatu. Lebih dari sepuluh nyamuk udah merasakan sengatan raket ini. Selesai, di depan rumahku, masih terlihat asap mengepul. Kubuka pintu, dan betapa kagetnya nyamuk seakan menyerbu masuk berkomunal ke rumahku. Ayunan raketku nggak cukup mampu menyapa mereka semua. Akhirnya, mau nggak mau, aku harus merelakan beberapa kawanan masuk ke rumahku tanpa bisa dicegah lagi. Ternyata, mati sepuluh, digantikan generasi berikutnya yang lebih banyak. Artinya, tekor.
Reflek, pintu ditutup. Tapi begitu berbalik, nyamuk sudah tak terlihat lagi, sudah menemukan tempat baru akibat tempat lamanya diusik. Kini, mereka menemukan tempat baru yang lebih hangat, lebih dekat dengan mangsa. Berarti ntar malam perlu perjuangan lebih keras lagi buatku untuk bisa tidur.
Bener dugaan awalku, ini kayaknya yang disemprotin cuma minyak tanah. Cukup untuk orang tahu ada fogging. Cukup untuk alasan nyebar brosur caleg. Cukup untuk bikin nyamuk bangun. Basa basi. Mending gak usah.

Sabtu, 04 April 2009

Gambar Caleg

Menjelang pesta demokrasi negeri ini, disambut dengan sangat meriah. Bukan dengan bendera merah putih layaknya tujuh belasan. Tapi dengan bertebarannya gambar caleg yang mewarnai penjuru negeri. Begitu MK mengetuk palu tentang suara terbanyak, bukan lagi nomor urut, para caleg itu makin bernafsu untuk unjuk dikenali masyarakat. Ada kisah unik di Jakarta, caleg dari partai besar nomor urut 1. Yakin banget kalau bakal masuk. Pemilu lalu, meski bukan penguasa di Ibukota, tapi partainya memperoleh cukup banyak kursi DPR, masak tahun ini 1 aja nggak dapat, begitu pikirnya. Tapi dengan ditelurkannya aturan suara terbanyak, langsung tiap 10 m di daerah pilihannya muncul poster dirinya.
Kembali ke gambar-gambar caleg tadi. Aku memang sudah punya pilihan, tinggal tunggu waktu aja untuk nyontreng. Namun aku coba bayangkan, betapa bingungnya orang yang belum punya pilihan. Udah partainya makin banyak, calegnya juga gak ada satupun yang dikenalnya. Banyak caleg yang merasa tenang karena gambarnya udah nyebar dimana-mana. Jadi dia seperti menciptakan rasa tenang sendiri, atau lebih tepatnya menghibur diri, bahwa orang udah mengenal dia. Dia lupa, ada ratusan orang caleg yang merasa seperti dirinya. Kalau nggak percaya, coba kita amati analogi ini. Kita disodorin album foto. Foto rame-rame. Siapa yang jadi obyek yang kita cari pertama kali? pasti kita sendiri. Begitu ada foto kita disitu, pertama kita akan cukup puas. Baru tahap berikutnya, kualitas foto kita, apakah lagi senyum, manyun, merem, dll. Nah, para caleg juga seperti itu. Tenang sekali karena fotonya ada dimana-mana. Lupa tujuan utama berkompetisi. Lupa semua caleg melakukan hal yang sama. Lupa bahwa rakyat makin pinter, nggak mudah lagi dibohongi dengan janji. Toh, semua orang tahu, foto yang bagus itu juga hasil karya studio foto, ada pengarah gaya, pengarah busana, fotografer handal, kalau belum terlihat bagus, minta foto ulang sampai terlihat seperti bintang film. Janji-janji yang tertulis sangat manis, pemilihan kata yang cerdas, kita juga tahu, itu kerjaan tim kreatif partai, atau sekurang-kurangnya kerja konsultan partainya.
Padahal, masyarakat juga perlu sentuhan langsung sang caleg, pengin tahu seberapa pintar sang caleg. Pengin ada kontribusi yang bakal diharapkan si caleg. Bukan sekedar numpang tenar bapaknya, atau tokoh partainya yang udah lebih dulu tenar, terlihat kalau nggak pede sama sekali.
Pengalamanku punya toko, untuk bisa membuat orang itu beli, perlu orang itu diberikan pemahaman dan pilihan (sebenarnya yang lebih tepat adalah dibujuk rayu), kenapa perlu beli yang itu, bukan yang lainnya. Proses sebelum itu, orang perlu diberikan alasan, untuk apa dia perlu masuk ke toko kita. Nah, proses awalnya, orang perlu tahu bahwa kita punya toko yang menjual anu dan anu. Kayaknya, para caleg baru sampai tahap pertama, bahwa dia punya jualan berupa janji-janji yang dipasang di spanduk. Apakah orang mau milih dia? Masih jauh, maih banyak tahapan yang mesti dia lalui, untuk menjadi sang terpilih.

Jeda Kegembiraan

Jeda Kegembiraan
by : Ivan SP

Kegembiraan yang sangat kita harapkan selalu terjadi, pasti akan diberi jeda oleh sang waktu. Hanya mungkin sekedar memberikan gambaran betapa komponen penyusun kegembiraan kita, merupakan hal paling berharga untuk disia-siakan.

Sudah hal yang sangat standard, tiap orang yang pulang kerja, apalagi yang bergelar ‘family man’ yang selalu dinanti-nanti saat pertama sampai di rumahnya adalah pertemuan dengan anggota keluarga; anak istri. Ada lagu yang pas untuk ini : bidadari nan bermata jeli, menyongsong dengan wajah berseri. Yah, karena saya saat ini adalah satu-satunya lelaki di rumah, dengan amanah 2 anak perempuan.
Family man ini, dicirikan oleh banyak hal, tapi yang paling menonjol adalah kebiasaan untuk on time. Ontime saat absen masuk, kalaupun nggak, paling last minute, 7:29, 7:30, 7:28. Itupun kalau ditanya, apa yang dilakukan sebelum berangkat, jawabannya juga standar : ngajak anak muter-muter komplek dulu, mbenerin mainan anak, dan jawaban klise lain. Ciri kedua, kenapa gelar family man sangat layak disandang, adalah kebiasaan untuk pulang juga on time : pas 16:30. kalaupun telat, hitungannya juga masih kisaran menit. Hebatnya, kalau ciri pertama tadi tidak tercapai, ciri kedua harus tetap tercapai, dengan satu alasan yang seakan telah disepakati oleh semua karyawan : tadi pagi saya udah telat, masak sore ini telat lagi.
Dan, tiga makhluk perempuan itu, selalu berusaha berebut mendapat sambutan pertama, meski untuk ini jelas istri aku yang paling sering mengalah, namun tetap semua diupayakan mendapat hal yang sama, jabat tangan, cium tangan aku, ganti kening atau pipi mereka saya cium. Sama terus seperti itu, setiap hari. Namun hebatnya, tidak ada rasa bosan, atau bahkan rasa untuk ingin bosan. Rasanya secara kualitas maupun kuantitas, masih ada yang kurang kalau ritual itu belum dilaksanakan.
Masalah rebutan, juga jelas anak pertama saya yang paling menang. Apalah arti usaha anak usia1 tahun, yang masih tertatih untuk berjalan dan memanggil sebutan terindah di dunia, meski terucap terbata-bata : ayyaahhh, dibanding usaha anak usia 4 tahun.
Biasanya, ritual itu dilanjutkan dengan kewajiban berikutnya: menemani anak-anak bermain. Judul besar dari ukuran rumah saya adalah alhamdulillah, masih cukup untuk menampung anggota keluarga yang ada. Sebentar saja anak-anak mengeluarkan mainannya, rumah udah terasa penuh. Ya, tidak ada ruang lagi yang bisa menjadi tempat bermain, selain ruang keluarga sekaligus ruang temu, sekaligus ruang bermain anak-anak. Rasio jumlah mainan yang nambah terus dan luas ruang yang segitu aja, jelas tidak sebanding. Paling habis itu bundanya yang mengeluh harus beresin mainan.
Bahasa sederhana dari adegan permainan itu adalah seorang ayah yang menemani anaknya bermain. Tapi secara jujur harus saya katakan, rasanya saya juga punya kebutuhan untuk bermain itu. Ini adalah obat paling manjur dari semua masalah yang ada di kantor. Jadi kalau ditimbang-timbang, sebenarnya ini berbalik menjadi seorang anak menemani ayahnya bermain. Saya pernah lihat iklan handphone, bilang kalau tiap orang itu memiliki jiwa kekanak-kanakan, bahkan ketika dia udah dewasa. Bayangkan, betapa wajarnya saya kalau bermain mobil-mobilan, kejar-kejaran, ketawa-ketawa, kalau dalam kondisi itu. Coba kalau dengan yang sebaya saya, tentu menjadi pemandangan aneh. Jadi, tinggal kita ajarin anak untuk kreatif dengan permainan, besok dia nggak akan bosan main dengan kita, dan itu pula berarti selalu ada harapan bermain seperti itu keesokan harinya.
Itu adalah cerita harian yang sampai sekarang masih berjalan. Nah rutinitas terpenggal sedikit, karena ada undangan dari kampung, istriku harus pulang, tentu membawa anak-anak. Pagi-pagi, kuantar ke stasiun, dan saya langsung berangkat ke kantor. Sampai disini, tidak ada kejadian penting.
Nah, saat pulang kerjalah, tiba-tiba menjadi episode paling nggak enak dalam hidup. Kebiasaan lama disambut bidadari, tiba-tiba terasa hilang, karena sang bidadari sedang pulang kampung. Trus begitu masuk rumah, nampak ada sesuatu yang aneh. Rumah nampak sangat rapi. Terlalu rapi. Namun terasa ada sasuatu yang kurang. Mungkin aku sudah mulai terbiasa dengan berantakan hasil tangan kreatif anakku. Wajah anakku mulai berpendaran mengisi bayanganku. Kegembiraan sementara mengalami jeda, sekaligus ancang-ancang untuk menyambut kegembiraan mendatang.
Limestone atau batugamping merupakan batuan sedimen karbonat yang terbentuk dari sedimentasi hewan dan tumbuhan karang. Kenampakan struktur luar batuan ini berwarna putih kotor, putih keabu-abuan, sampai kuning keabu-abuan. Untuk limestone yang masih muda sering dijumpai struktur fosil hewan atau tumbuhan karang (coral) karena proses litifikasi (pembatuan) yang belum sempurna. Meski secara genesa terbentuk dari laut, namun karena proses pergerakan kulit bumi, sering dijumpai endapan limestone yang sudah berjarak puluhan kilometer dari pantai. Berat jenis limestone insitu (bank) berkisar antara 2.2 – 2.4 ton/bcm, sedangkan berat jenis loose berkisar antara 1.5 – 1.8 ton/lcm. Rumus kimia limestone adalah CaCO3. Untuk usaha pertambangan, limestone merupakan salah satu bahan galian industri yang mempunyai potensi yang sangat besar di Indonesia. Cadangan total limestone di seluruh Indonesia diperkirakan lebih dari 28 milyar ton yang penyebarannya hampir di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan klasifikasi bahan galian, limestone tergolong ke dalam Bahan Galian C (Bahan Galian Industri).
Paling tidak, ada 4 bidang usaha yang secara langsung memanfaatkan berbagai keunggulan dari sifat fisik dan kimia limestone, yaitu pertanian, konstruksi, industri, dan lingkungan. Dalam bidang konstruksi, peran limestone sebagai bahan utama untuk pembuatan semen tentunya juga sangat besar. Dalam tulisan ini dikhususkan akan memperdalam limestone dalam kaitannya untuk mendukung industri semen, terutama dalam hal penambangannya dengan menggunakan alat-alat berat. Namun pembahasan nantinya hanya akan dibatasi pada alat berat untuk quarry saja. Tidak dibahas untuk plant, packing, dan marketing.